Awalnya gak ada yang beda, perkenalanku denganmu ketika itu
sama saja seperti perkenalan-perkenalan dengan cowok-cowok lain yang dengan
mudah bisa ditebak endingnya; minta nomor handphone, ngajak ketemuan, pacaran
kilat, dan akhirnya putus juga hanya gara-gara alasan yang kadang gak logis
sama sekali.
Aku juga masih menanggapimu dengan sangat biasa, menjaga-jaga
agar perkenalan kita gak berlanjut pada hal-hal yang terlalu meng-ikut
campur-kan perasaan. Karena seperti yang aku sadari sendiri, aku sering terluka
hanya karena terlalu melibatkan perasaan dalam suatu hubungan. Aku sering
terbodohi dengan hal yang aku lihat ‘berperasaan’, tapi nyatanya enggak. Aku
sering terlihat tolol dengan dibuat terlalu percaya. Aku sering membuang-buang
waktu hanya untuk hal yang sama sekali gak ada gunanya; Cinta.
Hingga berbulan-bulan setelah perkenalan itu, akhirnya kamu
berhasil mematahkan pradigma burukku tentang cinta. Tentang hubungan yang tidak
harus selalu melibatkan perasaan. Iya, kamu hampir berhasil membuatku ternyaman-nyaman
dengan perilaku manis dan perhatian yang memang sepertinya itulah yang aku
butuhkan. Ucapan-ucapan sepele gak penting yang kamu ucapkan setiap hari, atau
ungkapan-ungkapan mesra konyol yang kadang membuatku terbahak, itulah yang
selalu aku tunggu darimu. Sesuatu yang mungkin obat untuk rasa sepi yang
terlalu setia padaku akhir-akhir ini. Kamu yang gak pernah sedikitpun
menyinggung soal kekurangan yang ada padaku, bahkan seolah kamulah yang mencoba
menutupi kekurangan itu. Dengan menjadikanku orang yang teristimewa, kamupun
akhirnya membuat aku mulai mempercayaimu.
Aku selalu menutup telinga jika ada pihak lain yang mengatakan
hal buruk tentang kamu. Aku malas mendengar nasehat-nasehat mereka yang
sebenarnya takut jika aku terjatuh lagi. Aku terlalu menikmati kesenangan ini.
Tapi ternyata, setelah berhasil membuatku percaya, kamu lebih
memilih pergi bersama cewek lain yang memang ‘kelihatannya’ lebih dariku.
Bahkan kamu tidak pernah sekalipun menjadikanku seseorang yang kamu panggil
“Pacar”. Kamu lebih memilih dia yang baru kemarin pagi kamu kenal, di
bandingkan aku –yang hati dan otaknya- telah kamu jejali dengan harapan yang
faktanya cuma sampah? HAHAH~
Kalo udah begini aku ya bisa apa? Marah? Pada siapa? Kamu? Lah
aku saja gak pernah menjadi ‘siapa-siapa’-nya kamu kok. Aku sama sekali gak
berhak atas apapun. Seperti cewek lainnya, pelampiasan paling ampuhku hanya air
mata. Lewat tangis, aku bisa mengungkapkan segalanya. Itupun tanpa pernah kamu
tahu kan?
Bahkan sekarang, setelah semuanya kembali ke awal cerita,
untuk sekedar menyapaku saja kamu enggan. Atau mungkin kamu terkena amnesia
hingga lupa pernah mengenalku? Kamu seolah gak mau tahu kecewanya aku, tweet ku
yang lewat di timeline mu (yang semuanya tentang kamu) saja gak pernah kamu
gubris sama sekali.
aku mengalah, aku tidak apa-apa:’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar